Senin, 25 Juni 2007

Pendidikan Keaksaraan dan Pemertahanan Bahasa

Badan dunia di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurusi masalah pendidikan, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan, UNESCO, memperkirakan separuh dari 6 ribu bahasa yang ada di dunia saat ini berada dalam ancaman kepunahan. Demikian seperti diungkapkan dalam siaran pers lembaga itu dalam rangka Hari Bahasa Ibu Sedunia di Jakarta (Tempo, 21 Februari 2007).
Menurut data UNESCO, saat ini terdapat sekitar 6.000 bahasa yang digunakan di seluruh dunia, tetapi bahasa-bahasa tersebut terbagi diantara penduduk dunia secara tidak merata. Lebih dari 90% penduduk dunia yang berjumlah 6 milliar hanya menggunakan sekitar 300 bahasa saja, diantaranya bahasa Hindi, Arab, Mandarin, Prancis, Spanyol, dan Inggris. Bahasa-bahasa tersebut sering disebut sebagai bahasa mayoritas. Kurang dari 10% dari total penduduk dunia berbicara dengan menggunakan sisanya yaitu 5.700 bahasa sebagai bahasa minoritas. Dari semua bahasa minoritas ini, 3.481 (61%) ditemukan di kawasan Asia dan Pasifik. Dari 6 ribu bahasa yang sudah diketahui saat ini, 61 persennya merupakan bahasa yang digunakan di kawasan Asia Pasifik, dan 726 lebih di antaranya di pakai di wilayah Indonesia.
Dalam tataran sosiolinguistik makro, pengkajian pemertahanan bahasa (language maintenance) lazimnya tertuju pada bahasa dalam konteks bilingual, dalam hal ini terdapat bahasa ibu (minor language) atau bahasa etnis bersehadapan dengan bahasa utama (major language), seperti bahasa nasional. Hal ini relevan dengan konteks Indonesia, yang di dalamnya terdapat sekitar 726 bahasa etnis, dengan jumlah penutur yang sangat beragam dari puluhan ribu sampai puluhan juta.

Eksistensi bahasa
Pada hakikatnya semua macam dan ragam bahasa yang ada di seluruh jagat raya ini, adalah bagian dari kekuasaann-Nya. Termasuk hidup-matinya bahasa-bahasa tersebut, semuanya ada dalam genggaman-Nya. Oleh karena itu, sungguh mulia umat yang menjunjung tinggi keagungan ayat-ayat Allah SWT ini. Dalam Al Quran surat Ar-Rum ayat 22 disebutkan, “Dan sebagian dari ayat-ayat-Nya, Dia menciptakan langit dan bumi, serta berbeda-bedanya bahasa dan warna kulit kalian. Sesungguhnya di dalamnya terdapat ayat-ayat untuk orang-orang yang berpikir.”
Adanya kekhawatiran tentang kemungkinan punahnya suatu bahasa adalah suatu hal yang wajar, hal ini mengingat adanya beberapa kasus bahasa-bahasa tertentu yang bernasib malang, atau ditinggalkan para penggunanya. Contohnya saja beberapa bahasa Indian di Amerika atau bahasa Aborigin di Australia, dan konon bahasa bahasa Bapu, Darbe, Wares (Kabupaten Sarmi), bahasa Taworta dan Waritai (Jayapura), bahasa Murkim dan Walak (Jayawijaya), bahasa Meoswas (Manokwari), dan bahasa Loegenyem (Rajaampat) diduga sudah punah, atau hanya digunakan oleh beberapa penutur saja..
Hal yang sama, sangat mungkin terjadi terhadap bahasa lainnya, seperti bahasa Jawa, Sunda, atau Bali jika tidak ada kepedulian dari masyarakat penggunanya. Padahal, dengan punahnya suatu bahasa berarti hilang pula salah satu alat pengembang serta pendukung utama kebudayaan tersebut. Lebih dari itu, berarti hilang pula salah satu warisan budaya dunia yang tak ternilai harganya.
Dapat dikatakan bahwa setiap bahasa menggambarkan pandangan dan budaya dunia yang unik serta mencerminkan cara dimana masyarakat tutur memecahkan masalahnya dalam menghadapi dunia, merumuskan cara berfikirnya, sistem filsafatnya, dan memahami dunia di sekitarnya. Dengan punahnya suatu bahasa berarti suatu kesatuan yang tidak dapat digantikan dalam ilmu pengetahuan, dan dari pemahaman pemikiran manusia, maka pandangan dunia terhadap bahasa tersebut telah menghilang selamanya

Pendidikan Keaksaraan
Melihat fenomena kepunahan bahasa seperti kasus-kasus di atas, maka tak heran jika sejak tahun 1951 UNESCO telah merekomendasikan penggunaan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar pendidikan. Hal itu merupakan langkah konkret pemertahanan dan pemberdayaan bahasa ibu. Karenanya, setiap tanggal 21 Februari UNESCO memperingatinya sebagai mother tongue day (Hari Bahasa Ibu Sedunia).
Salah satu pilot project UNESCO di Indonesia berkaitan dengan bahasa ibu adalah program pendidikan keaksaraan melalui bahasa ibu di Cibago-Subang-Jawa Barat. Program ini secara khusus ditujukan bagi pengembangan pendidikan masyarakat buta aksara dengan memanfaatkan kekayaan bahasa ibunya, yaitu bahasa Sunda, sebagai sumber belajar yang fungsional dalam pembelajaran membaca, menulis, dan berhitung (calistung).
Program pembelajaran keaksaraan melalui bahasa ibu ini menggunakan tingkatan kelas sebagai berikut:
1. Tingkat 1, kelas untuk warga belajar pemula yang hanya mampu berbicara (atau sebagian besar) dalam bahasa ibunya (mother tongue), dalam hal ini bahasa Sunda.
2. Tingkat 2, kelas untuk warga belajar yang ingin lancar menulis dan membaca dalam bahasa ibunya dan juga ingin memahami dan mampu berbicara dalam bahasa mayoritas (bahasa nasional/bahasa Indonesia).
3. Tingkat 3, kelas untuk warga belajar yang sudah siap mentransfer keaksaraan dalam bahasa mayoritas.
4. Tingkat 4, kelas untuk warga belajar yang dapat melanjutkan pembelajarannya baik dalam bahasa ibu maupun dalam bahasa mayoritas (bilingual).

Materi pembelajarannya memadukan antara kekayaan bahasa ibu dengan kecakapan hidup (life skills), diantaranya adalah: menyanyi lagu Sunda, menulis peribahasa Sunda, menulis babasan Sunda, menulis surat berbahasa Sunda, mengambil lahang aren, membuat gula aren, dan dongeng asal muasal lokasi setempat.
Dalam proses belajar mengajar tutor menggunakan strategi belajar, membaca, menulis, berhitung, diskusi, dan aksi (calistungdasi). Penggunaannya fleksibel sesuai situasi dan kondisi materi yang disampaikan tutor. Bahkan, terkadang menggunakan alat musik dalam seni jaipong atau rebana sebagai raginya. Artinya, semua bahan belajar tersebut sedapat mungkin diambil dari pengembangan tradisi lokal.
Selain itu, warga belajar pun didorong untuk membuat bahan belajar sendiri berdasarkan pengalamannya. Banyak dari warga belajar, yang meskipun buta aksara tetapi memiliki pengalaman yang luar biasa dalam keterampilan tradisional, misalnya: mengambil dan membuat lahang aren, pengetahuan dongeng lokal, musik Sunda, dan keterampilan tradisional lainnya.
Kekayaan bahasa dan budaya Sunda ini kemudian dijadikan salah satu sumber belajar bagi warga belajar, tutor, dan penyelenggara yang bermanfaat bagi pengembangan keterampilan yang memadai untuk menggunakan beraneka ragam informasi tertulis dalam kehidupan sehari-hari. Kemampuan yang dimaksudkan dalam konsep ini adalah kemampuan memproses informasi bahan-bahan menjadi suatu hal yang aplikatif dalam kehidupan tradisional mereka.

Penutup
Hasil kajian penulis menyimpulkan bahwa model pembelajaran keaksaraan melalui bahasa ibu memiliki dampak sertaan terhadap pemertahanan bahasa Sunda. Bahan ajar yang digali dari kekayaan bahasa dan budaya Sunda dalam konteks setempat, memungkinkan terangkatnya nilai-nilai budaya Sunda yang sudah dilupakan atau bahkan tidak dikenal oleh para penuturnya. Penggunaan dongeng lokal (dalam bentuk sasakala), babasan dan paribahasa Sunda, serta tradisi dan musik Sunda dalam proses pembelajaran keaksaraan menjadikan program ini tidak hanya berfungsi sebagai alat pemberantasan buta aksara dan angka, tapi berkontribusi pula pada pemertahanan bahasa dan budaya Sunda.

Penulis, pamong belajar pada Balai Pengembangan Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (BP-PLSP) Regional II Jayagiri.

Tidak ada komentar: