Senin, 25 Juni 2007

Pendidikan Keaksaraan dan Pemertahanan Bahasa

Badan dunia di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurusi masalah pendidikan, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan, UNESCO, memperkirakan separuh dari 6 ribu bahasa yang ada di dunia saat ini berada dalam ancaman kepunahan. Demikian seperti diungkapkan dalam siaran pers lembaga itu dalam rangka Hari Bahasa Ibu Sedunia di Jakarta (Tempo, 21 Februari 2007).
Menurut data UNESCO, saat ini terdapat sekitar 6.000 bahasa yang digunakan di seluruh dunia, tetapi bahasa-bahasa tersebut terbagi diantara penduduk dunia secara tidak merata. Lebih dari 90% penduduk dunia yang berjumlah 6 milliar hanya menggunakan sekitar 300 bahasa saja, diantaranya bahasa Hindi, Arab, Mandarin, Prancis, Spanyol, dan Inggris. Bahasa-bahasa tersebut sering disebut sebagai bahasa mayoritas. Kurang dari 10% dari total penduduk dunia berbicara dengan menggunakan sisanya yaitu 5.700 bahasa sebagai bahasa minoritas. Dari semua bahasa minoritas ini, 3.481 (61%) ditemukan di kawasan Asia dan Pasifik. Dari 6 ribu bahasa yang sudah diketahui saat ini, 61 persennya merupakan bahasa yang digunakan di kawasan Asia Pasifik, dan 726 lebih di antaranya di pakai di wilayah Indonesia.
Dalam tataran sosiolinguistik makro, pengkajian pemertahanan bahasa (language maintenance) lazimnya tertuju pada bahasa dalam konteks bilingual, dalam hal ini terdapat bahasa ibu (minor language) atau bahasa etnis bersehadapan dengan bahasa utama (major language), seperti bahasa nasional. Hal ini relevan dengan konteks Indonesia, yang di dalamnya terdapat sekitar 726 bahasa etnis, dengan jumlah penutur yang sangat beragam dari puluhan ribu sampai puluhan juta.

Eksistensi bahasa
Pada hakikatnya semua macam dan ragam bahasa yang ada di seluruh jagat raya ini, adalah bagian dari kekuasaann-Nya. Termasuk hidup-matinya bahasa-bahasa tersebut, semuanya ada dalam genggaman-Nya. Oleh karena itu, sungguh mulia umat yang menjunjung tinggi keagungan ayat-ayat Allah SWT ini. Dalam Al Quran surat Ar-Rum ayat 22 disebutkan, “Dan sebagian dari ayat-ayat-Nya, Dia menciptakan langit dan bumi, serta berbeda-bedanya bahasa dan warna kulit kalian. Sesungguhnya di dalamnya terdapat ayat-ayat untuk orang-orang yang berpikir.”
Adanya kekhawatiran tentang kemungkinan punahnya suatu bahasa adalah suatu hal yang wajar, hal ini mengingat adanya beberapa kasus bahasa-bahasa tertentu yang bernasib malang, atau ditinggalkan para penggunanya. Contohnya saja beberapa bahasa Indian di Amerika atau bahasa Aborigin di Australia, dan konon bahasa bahasa Bapu, Darbe, Wares (Kabupaten Sarmi), bahasa Taworta dan Waritai (Jayapura), bahasa Murkim dan Walak (Jayawijaya), bahasa Meoswas (Manokwari), dan bahasa Loegenyem (Rajaampat) diduga sudah punah, atau hanya digunakan oleh beberapa penutur saja..
Hal yang sama, sangat mungkin terjadi terhadap bahasa lainnya, seperti bahasa Jawa, Sunda, atau Bali jika tidak ada kepedulian dari masyarakat penggunanya. Padahal, dengan punahnya suatu bahasa berarti hilang pula salah satu alat pengembang serta pendukung utama kebudayaan tersebut. Lebih dari itu, berarti hilang pula salah satu warisan budaya dunia yang tak ternilai harganya.
Dapat dikatakan bahwa setiap bahasa menggambarkan pandangan dan budaya dunia yang unik serta mencerminkan cara dimana masyarakat tutur memecahkan masalahnya dalam menghadapi dunia, merumuskan cara berfikirnya, sistem filsafatnya, dan memahami dunia di sekitarnya. Dengan punahnya suatu bahasa berarti suatu kesatuan yang tidak dapat digantikan dalam ilmu pengetahuan, dan dari pemahaman pemikiran manusia, maka pandangan dunia terhadap bahasa tersebut telah menghilang selamanya

Pendidikan Keaksaraan
Melihat fenomena kepunahan bahasa seperti kasus-kasus di atas, maka tak heran jika sejak tahun 1951 UNESCO telah merekomendasikan penggunaan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar pendidikan. Hal itu merupakan langkah konkret pemertahanan dan pemberdayaan bahasa ibu. Karenanya, setiap tanggal 21 Februari UNESCO memperingatinya sebagai mother tongue day (Hari Bahasa Ibu Sedunia).
Salah satu pilot project UNESCO di Indonesia berkaitan dengan bahasa ibu adalah program pendidikan keaksaraan melalui bahasa ibu di Cibago-Subang-Jawa Barat. Program ini secara khusus ditujukan bagi pengembangan pendidikan masyarakat buta aksara dengan memanfaatkan kekayaan bahasa ibunya, yaitu bahasa Sunda, sebagai sumber belajar yang fungsional dalam pembelajaran membaca, menulis, dan berhitung (calistung).
Program pembelajaran keaksaraan melalui bahasa ibu ini menggunakan tingkatan kelas sebagai berikut:
1. Tingkat 1, kelas untuk warga belajar pemula yang hanya mampu berbicara (atau sebagian besar) dalam bahasa ibunya (mother tongue), dalam hal ini bahasa Sunda.
2. Tingkat 2, kelas untuk warga belajar yang ingin lancar menulis dan membaca dalam bahasa ibunya dan juga ingin memahami dan mampu berbicara dalam bahasa mayoritas (bahasa nasional/bahasa Indonesia).
3. Tingkat 3, kelas untuk warga belajar yang sudah siap mentransfer keaksaraan dalam bahasa mayoritas.
4. Tingkat 4, kelas untuk warga belajar yang dapat melanjutkan pembelajarannya baik dalam bahasa ibu maupun dalam bahasa mayoritas (bilingual).

Materi pembelajarannya memadukan antara kekayaan bahasa ibu dengan kecakapan hidup (life skills), diantaranya adalah: menyanyi lagu Sunda, menulis peribahasa Sunda, menulis babasan Sunda, menulis surat berbahasa Sunda, mengambil lahang aren, membuat gula aren, dan dongeng asal muasal lokasi setempat.
Dalam proses belajar mengajar tutor menggunakan strategi belajar, membaca, menulis, berhitung, diskusi, dan aksi (calistungdasi). Penggunaannya fleksibel sesuai situasi dan kondisi materi yang disampaikan tutor. Bahkan, terkadang menggunakan alat musik dalam seni jaipong atau rebana sebagai raginya. Artinya, semua bahan belajar tersebut sedapat mungkin diambil dari pengembangan tradisi lokal.
Selain itu, warga belajar pun didorong untuk membuat bahan belajar sendiri berdasarkan pengalamannya. Banyak dari warga belajar, yang meskipun buta aksara tetapi memiliki pengalaman yang luar biasa dalam keterampilan tradisional, misalnya: mengambil dan membuat lahang aren, pengetahuan dongeng lokal, musik Sunda, dan keterampilan tradisional lainnya.
Kekayaan bahasa dan budaya Sunda ini kemudian dijadikan salah satu sumber belajar bagi warga belajar, tutor, dan penyelenggara yang bermanfaat bagi pengembangan keterampilan yang memadai untuk menggunakan beraneka ragam informasi tertulis dalam kehidupan sehari-hari. Kemampuan yang dimaksudkan dalam konsep ini adalah kemampuan memproses informasi bahan-bahan menjadi suatu hal yang aplikatif dalam kehidupan tradisional mereka.

Penutup
Hasil kajian penulis menyimpulkan bahwa model pembelajaran keaksaraan melalui bahasa ibu memiliki dampak sertaan terhadap pemertahanan bahasa Sunda. Bahan ajar yang digali dari kekayaan bahasa dan budaya Sunda dalam konteks setempat, memungkinkan terangkatnya nilai-nilai budaya Sunda yang sudah dilupakan atau bahkan tidak dikenal oleh para penuturnya. Penggunaan dongeng lokal (dalam bentuk sasakala), babasan dan paribahasa Sunda, serta tradisi dan musik Sunda dalam proses pembelajaran keaksaraan menjadikan program ini tidak hanya berfungsi sebagai alat pemberantasan buta aksara dan angka, tapi berkontribusi pula pada pemertahanan bahasa dan budaya Sunda.

Penulis, pamong belajar pada Balai Pengembangan Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (BP-PLSP) Regional II Jayagiri.

Minggu, 24 Juni 2007

Aspek Bahasa dalam Tulisan Teknis

Aspek Bahasa dalam Tulisan Teknis
Oleh Kuswara*

Abstrak
Kegiatan kepenulisan sangat erat kaitannya dengan keterampilan berbahasa (language skills). Makin memadai keterampilan berbahasa yang dikuasai seseorang, maka makin baik pula kualitas tulisannya. Keterampilan berbahasa tersebut di antaranya dalam bentuk pemahaman terhadap tata bahasa dan perbendaharaan kata (peristilahan). Tata bahasa dan peristilahan baku tidaklah dimaksudkan untuk membatasi keluwesan seseorang berbahasa. Akan tetapi penggunaan bahasa secara serampangan akan mengakibatkan terlalu bebasnya pengguna bahasa menyimpang dari kaidah tata bahasa dan peristilahan yang benar. Apalagi saat ini peristilahan khusus yang sifatnya khas dan hanya digunakan pada bidang-bidang tertentu, saat ini banyak digunakan dalam tulisan-tulisan teknis, yang dipublikasikan dalam bentuk surat, laporan, makalah, modul, pedoman, panduan, atau dalam bentuk lainnya. Sayangnya, penggunaan bahasa baku dalam tulisan-tulisan teknis saat ini masih belum ‘membumi’. Penggunaan istilah asing yang terlalu dominan, penerjemahan yang kurang akurat, bahasa yang rancu, dan kesalahan dalam teknis kebahasaan lainnya masih sering dijumpai. Padahal, kepatuhan setiap warga negara pada ketetapan yang digariskan pemegang kebijakan bahasa tingkat nasional, dapat dipandang sebagai partisipasi aktif yang positif dalam membina terwujudnya bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Pendahuluan
Kenapa esai astronomi Stephen Hawking (“A Brief History of Time”), kuliah ekonomi-matematis Paul A. Samuelson (“Economics”), atau pengalaman bisnis Robert T. Kiyosaki (“Rich Dad, Poor Dad”) bisa kita nikmati seperti sebuah novel? Kenapa tulisan pemasaran Hermawan Kertajaya (“On Marketing/Siasat Bisnis”) dan artikel manajerial Ken Blanchard (“One Minute Manager”) bisa dinikmati seperti cerpen?
Hawking, Samuelson, Kiyosaki, Hermawan, dan Blanchard adalah beberapa penulis ahli yang mampu mentransformasikan tema-tema teknis dan spesifik menjadi bahan bacaan yang menarik bagi pembaca yang lebih luas. Tak hanya mengadopsi teknik penulisan populer, mereka juga menerapkan teknik penulisan fiksi secara kreatif dalam tulisan-tulisan mereka.
Kita mungkin pernah pula membaca tulisan-tulisan lain yang dikemas dalam berbagai bentuk—esai, artikel, atau buku—yang sangat fenomenal. Mungkin kita pernah terkagum-kagum dengan karya brilian Alvin Tofler, Jack Canfield, Steven R. Covey, Safir Senduk, atau M. Fauzil Adhim. Atau juga pikiran kita begitu terbuka membaca kasus-kasus bisnis dari tulisan-tulisan Rhenald Kasali. Kadang kala kita sering bertanya, bagaimana seorang Fuazil Adhim begitu mudahnya melahirkan buku-buku yang enak dibaca dan laris manis bak kacang goreng?!
Dalam bukunya “Quantum Learning” (Kaifa: 1999) Bobbi De Porter dan Mike Hernacki mengatakan bahwa menulis adalah aktivitas seluruh otak yang menggunakan belahan otak kanan (emosi) dan belahan otak kiri (intelek/logika) secara serempak. Hal ini terlihat dalam bagan berikut:
TULISAN YANG BAIK MEMANFAATKAN KEDUA BELAHAN OTAK MANUSIA SECARA SEREMPAK DAN HARMONIS
Perencanaan
Kerangka Karangan
Tata Bahasa
Penyuntingan
Penulisan Kembali
Penelitian
Tanda Baca, Ejaan, dll.
Semangat
Spontanitas
Emosi
Gairah
Ketekunan
Temuan baru
Imajinasi, dll.
OTAK KANAN:
(Emosi, Keindahan, Seni, dll.)
OTAK KIRI:
(Rasio, Logika, Intelektualitas, dll.)
sumber:
De Porter & Hernacki (1999)














Dari bagan di atas, kita melihat nampaknya dalam proses kreatif kepenulisan, para penulis profesional tidak hanya mengandalkan kemampuan intelektual dan wawasan ilmu pengetahuan saja, tetapi mereka mampu pula menggenjot berbagai potensi diri lainnya. Stabilitas emosi, kegembiraan, kenyamanan, semangat, gairah, imajinasi, dan lain-lain pun ternyata menunjang dan memperkuat proses kreatif penyusunan sebuah tulisan.
Kekuatan lainnya ada pada gagasan. Menulis merupakan pekerjaan mengolah gagasan. Gagasan bisa muncul kapan saja. Terkadang bisa datang saat kita duduk membaca koran, ngobrol dengan tetangga, berbelanja di supermarket, atau bahkan saat berdesak-desakan di dalam angkutan umum. Gagasan bisa pula terlintas di kamar mandi atau di dapur. Atau mungkin gagasan kita berkembang dalam periode waktu tertentu, buah dari pengalaman hidup yang dialami. Gagasan inilah sumber utama kita menuangkan sebuah tulisan.
Bagi penulis yang telah berpengalaman, kegiatan menuangkan gagasan merupakan proses kreatif yang mengasyikan, sekaligus menantang. Penulis-penulis brilian yang disebutkan di atas, tentu mengalami proses pencarian ide juga. Satu dengan yang lainnya tentu saja berbeda. Yang jelas, hasil atau produknya telah mampu membuat kita terkagum-kagum terhadap ide atau gagasan yang mereka tuangkan. Nama mereka pun diperbincangkan dimana-mana, dan lebih dari itu para penulis tersebut telah berjasa pula menebarkan informasi dan ilmu pengetahuan ke masyarakat.
Pada dasarnya, kegiatan penulisan sangat erat kaitannya dengan keterampilan berbahasa (language skills). Makin memadai keterampilan berbahasa yang dikuasai seseorang, maka makin baik pula kualitas karya yang dihasilkannya. Keterampilan tersebut di antaranya dalam bentuk pemahaman terhadap tata bahasa dan perbendaharaan kata (peristilahan). Dua keterampilan ini sangat penting dan menjadi dasar keterampilan yang harus dikuasai bagi seorang penulis.
Tentu saja, adanya tata bahasa tidaklah bermaksud membatasi keluwesan orang berbahasa dalam percakapan sehari-hari. Akan tetapi, penggunaan bahasa secara sembarangan akan merupakan keleluasaan bagi setiap penggunanya untuk cenderung menyimpang dari kaidah tata bahasa yang benar.
Apalagi suatu ragam bahasa standar memiliki sifat kemantapan dinamis berupa kaidah dan aturan yang tetap. Baku atau standar tidak dapat berubah setiap saat. Di pihak lain kemantapan itu tidak kaku, tetapi cukup luwes sehingga memungkinkan perubahan yang bersistem dan teratur di bidang kosakata dan peristilahan serta mengizinkan perkembangan berjenis ragam yang diperlukan di dalam kehidupan modern.
Ragam bahasa standar juga memiliki sifat kecendekiaan. Perwujudan sifat kecendekiaan tersebut dapat dilihat dalam bentuk kalimat, paragraf, dan satuan bahasa lain yang lebih besar mengungkapkan penalaran atau pemikiran yang teratur, logis, dan masuk akal. Proses pencendekiaan bahasa itu amat penting karena pengenalan ilmu dan teknologi modern, yang kini umumnya masih bersumber pada bahasa asing, harus dapat dilangsungkan lewat buku bahasa Indonesia. Akan tetapi, karena proses bernalar secara cendekia bersifat semesta dan bukan monopoli suatu bangsa semata-mata, pencendekiaan bahasa Indonesia tidak perlu diartikan sebagai pembaratan bahasa.
Suatu tata bahasa baku atau standar berpraanggapan adanya keseragaman. Proses pembakuan sampai taraf tertentu berarti proses penyeragaman kaidah, bukan penyamaan ragam bahasa, atau penyeragaman variasi bahasa. Jadi, yang seragam adalah kaidahnya, bukan ragam bahasanya. Ragam bahasa boleh saja bermacam-macam, tetapi kaidah yang digunakan tetap sama, yaitu bahasa standar.
Salah satu ragam bahasa yang sering digunakan adalah ragam bahasa teknis. Ragam bahasa ini umumnya digunakan dalam tulisan bidang-bidang tertentu yang sifatnya khas atau istilah-istilah yang lebih dikenal dan digunakan pada bidang-bidang tertentu saja. Misalnya, ragam bahasa teknis perkomputeran, kedokteran, pendidikan, dan lain-lain.

Apa Itu Tulisan Teknis?
Istilah “tulisan teknis” dalam tulisan ini mengacu pada tulisan-tulisan di bidang teknologi dan ilmu pengetahuan alam yang memiliki ragam khas. Kata-kata yang biasa dijumpai pada sistem operasi Windows XP, misalnya, adalah istilah teknis yang hanya dikenal dalam dunia perkomputeran. Walaupun saat ini beberapa di antaranya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia baku, yang kadang masih terasa asing. 'Wisaya' misalnya, adalah bahasa Indonesia yang digunakan sebagai padanan dari kata bahasa Inggris 'wizard'. 'Borang' adalah padanan kata untuk 'form', 'pindai' untuk 'scan', dan lain sebagainya.
Memang, saat ini teknologi komputer telah menghasilkan alat bantu kerja yang tidak hanya untuk urusan tulis dan cetak, tetapi telah mampu menerobos teknologi komunikasi. Perpaduan kemajuan teknologi komputer dan teknologi komunikasi telah melahirkan kosakata/istilah baru di bidang tersebut. Karena teknologi, baik perangkat lunak maupun perangkat keras, datang dari mancanegara, kosakata/istilah yang digunakan pun pastilah kosakata/istilah dalam bahasa asing, yang umumnya bahasa Inggris.
Dalam hubungan dengan penggunaan kata/istilah bidang komputer, Pusat Bahasa misalnya, bekerja sama dengan Microsoft telah mengalihkan lebih dari 250.000 kata/istilah bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Kerja sama itu kini masih berlanjut untuk mengindonesiakan produk-produk lainnya.
Sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, peristilahan teknis nampaknya akan terus bertambah. Istilah tersebut tersebar dalam berbagai media, baik yang cetak, seperti: surat, laporan, makalah, modul, pedoman, atau panduan, juga dalam bentuk media elektronik, seperti: CD, VCD, web, blog, atau jenis lainnya. Produk-produk tersebut terdapat di lembaga-lembaga pemerintahan, perguruan tinggi, ataupun lembaga-lembaga swasta di tanah air. Ada yang digunakan hanya untuk kepentingan internal, dan adapula yang disebarluaskan ke masyarakat.
Sayangnya keberadaan bahasa baku dan peristilahannya dalam tulisan-tulisan teknis saat ini masih kurang diperhatikan. Penggunaan istilah asing yang terlalu dominan, penerjemahan yang kurang tepat, bahasa yang rancu, dan kesalahan dalam teknis kebahasaan lainnya masih sering dijumpai. Hal ini tentunya akan sangat menggangu kualitas tulisan tersebut di mata pembacanya.

Bahasa Baku dalam Tulisan Teknis
Kenyataan bahwa bahasa Indonesia digunakan oleh kelompok-kelompok masyarakat penutur yang berbeda latar belakangnya, baik dari segi geografis maupun dari segi sosial, menyebabkan munculnya berbagai ragam kedaerahan (ragam regional) dan sejumlah ragam sosial, termasuk di antaranya ragam bahasa teknis.
Abercrombie (1956) menulis bahwa ragam bahasa baku adalah ragam bahasa yang paling sedikit memperlihatkan ciri kedaerahan. Hubungan antara ragam kedaerahan dengan ragam baku, termasuk lafalnya, digambarkan oleh Trudgill (1975) seperti berikut:
Gambar di atas memperlihatkan pula bahwa ragam baku termasuk ragam sosial yang tinggi. Makin tinggi pendidikan seseorang cenderung akan meningkatkan status sosialnya--termasuk meningkatkan mutu bahasanya.
Di sinilah pentingnya penggunaan bahasa baku dalam tulisan-tulisan teknis direalisasikan. Hal itu perlu dilakukan karena dengan adanya penggunaan bahasa yang standar, berarti ikut pula memperkuat fungsi-fungsi bahasa baku untuk kepentingan-kepentingan sebagai berikut:
(1) Fungsi pemersatu
Bahasa baku berfungsi pemersatu yang dimaksud adalah bahwa bahasa baku mempersatukan makna menjadi satu masyarakat bahasa dan dapat meningkatkan proses identifikasi penutur orang seorang.
(2) Fungsi pemberi kekhasan
Fungsi pemberi kekhasan yang dimaksud adalah membedakan bahasa itu dari bahasa yang lain. Misalnya bahasa Indonesia berbeda dengan bahasa Malaysia atau bahasa Melayu Singapura dan Brunei Darussalam. Dengan kata lain, bahasa Indonesia dianggap sudah jauh berbeda dari bahasa Melayu Riau, Johor yang menjadi induknya.
(3) Fungsi pembawa wibawa
Pemilihan bahasa baku membawa satu wibawa atau prestasi seseorang. Fungsi pembawa wibawa berkaitan dengan usaha orang seorang untuk mencapai kesederajatan dengan peradaban lain.
(4) Fungsi sebagai kerangka acuan
Bahasa baku berfungsi sebagai kerangka acuan bagi pemakaian bahasa. Untuk menerapkan pemakaiannya, kaidah menjadi dasar benar tidaknya pemakaian bahasa. Oleh karena itu, kumpulan unsur bahasa yang disebut kosakata memerlukan adanya pembakuan, misalnya cewek, nggak, dan entar. Kata-kata itu sudah menjadi bagian kosakata bahasa Indonesia, tetapi tidak termasuk ke dalam kelompok yang baku. (Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, 2000: 14-15)

Penggunaan bahasa baku dalam tulisan teknis sangatlah penting. Dengan adanya penggunaan kosakata baku, sekurang-kurangnya tidak menyesatkan pengguna bahasa ketika akan menggunakan kosakata tertentu. Tidak berlebihan bila seorang penyusun tulisan teknis dituntut untuk memahami dan menguasai kosakata baku dan nonbaku. Karena di samping tulisannya akan lebih memenuhi kaidah bahasa, juga akan lebih berwibawa, khas, dan layak menjadi acuan bagi pembaca atau bahkan penulis lainnya.
Saat ini usaha-usaha pembakuan bahasa dalam laporan teknis telah dilakukan dan terus dilakukan. Mulai dari penerjemahan istilah, penyerapan istilah, dan sosialisainya ke pengguna di lembaga-lembaga terkait. Hanya saja, hal itu belum cukup, mengingat luasnya garapan di berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta minimnya tenaga ahli bahasa yang dilibatkan, sehingga terkadang kesepakatan-kesepakatan mengenai aspek bahasa hanya ditentukan oleh ahli-ahli teknis yang kurang paham ilmu bahasa, sehingga hasilnya terkadang kurang sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa.
Misalnya, ada beberapa kamus istilah teknis atau bahkan buku referensi yang biasa dirujuk, terkadang malah menyesatkan akibat kesalahan yang dibuatnya dan dianggap benar oleh penulis lain yang merujuknya. Hal ini tentunya sangat disayangkan, karena tentunya bila tidak segera dikoreksi akan menjadi kebiasaan yang turun temurun di bidang pengetahuan tersebut, dan dianggap sebagai sebuah kebenaran. Padahal, sejatinya adalah sebuah kekeliruan.

Beberapa Contoh Kekeliruan
Hasil pengamatan terhadap beberapa produk tulisan teknis di beberapa lembaga teknis pemerintah, di antaranya dalam bentuk kurikulum standar, publikasi ilmiah, dan juga beberapa modul, ada beberapa kekeliruan kebahasaan yang perlu diperbaiki dari sudut pandang ilmu bahasa. Beberapa kekeliruan tersebut di antaranya:

1. Penulisan Gabungan Kata
Ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang saat ini umumnya memiliki referensi buku-buku berbahasa asing, di antaranya berbahasa Inggris. Hal ini berakibat pada banyaknya istilah teknis yang harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan mencari pengertian yang pas, atau jika tidak ada pengertian yang pas, paling tidak menyerap istilah tersebut ke dalam bahasa Indonesia sesuai dengan pedoman pembentukan istilah yang ada.
Dalam proses penerjemahan istilah teknis bidang ilmu geologi, misalnya, terkadang ditemui kasus satu kata bahasa asing yang terjemahannya dalam bahasa Indonesia terdiri dua kata atau lebih (berbentuk gabungan kata). Kekeliruannya adalah, dalam penulisan bentuk gabungan kata tersebut seringkali dituliskan dengan cara digabung, padahal dari segi kaidah bahasa seharusnya ditulis secara terpisah. Misalnya:
Bahasa Inggris
Tulisan Terjemahan Nonbaku
Tulisan Terjemahan Baku
/coal/
batubara
batu bara
/resources/
sumberdaya
sumber daya
/volcano/
gunungapi
gunung api
/limestone/
batugamping
batu gamping

Mengapa penulisan gabungan kata dalam tabel di atas harus dipisah? Dalam penulisan gabungan kata ada empat kaidah yang dapat kita jadikan pegangan. Kita pun mengenal beberapa bentuk gabungan kata, yaitu: 1) gabungan kata antara kata dasar dengan kata dasar, 2) bentuk terikat dengan kata dasar, 3) bentuk terikat dengan kata turunan (derivative word), dan 4) bentuk terikat dengan kata yang diawali huruf kapital.
Kaidah (1) menyebutkan bahwa penggabungan bentuk dasar dengan bentuk dasar mengakibatkan penulisannya dipisahkan. Contohnya adalah: tanggung jawab, buta warna, gaji pokok, dan lain-lain. Salah satu cirinya dapat dilihat dari komponen-komponen pembentuk gabungan kata (kata dasar) tersebut memiliki arti yang mandiri (bentuk bebas). Bentuk dasar sendiri bermakna sebagai bentuk asal yang tidak dapat dipilah lagi. Suatu bentuk kata yang baru memiliki arti jika digabung dengan bentuk lain, maka patut diduga bahwa bentuk tersebut adalah bentuk terikat, sehingga berlaku kaidah yang kedua di bawah ini. Misalnya: bentuk /kosa/ dan /kata/ bagaimanakah cara penulisannya? Kita cek dulu apakah ada bentuk /kosa/ yang mandiri, /perkosa/ misalnya, tidaklah berkaitan secara maknawi dengan bentuk /kosa/ yang dimaksud. Bentuk /kosa/ sendiri tidak memiliki makna kalau dia tidak digabungkan dengan kata dasar lain. Dapat disimpulkan bahwa bentuk /kosa/ adalah bentuk terikat yang penulisannya harus digabung, yaitu: /kosakata/.
Kaidah (2) menyebutkan bahwa penggabungan bentuk terikat dengan bentuk dasar mengakibatkan penulisannya serangkai/disatukan. Contohnya adalah: ekabahasa(wan), ekasila, dwiwarna, dwitunggal, trisula, dwilingga, tritura, trilogi, trikora, caturwulan, caturwarna, pancaindra, pancasila, pancamarga, saptamarga, saptadarma, saptapesona, dasasila, dasawarsa. Bentuk catur homonim sebab arti catur (i) salinan dari kata Belanda schaak yang asalnya olahraga dari Iran dan (ii) artinya bilangan 4 dari bahasa Sansekerta. Jadi, bentuknya sama, tetapi berbeda arti dan dapat diperlakukan sebagai bentuk terikat, sesuai dengan konteks kata/kalimatnya.
Contoh-contoh lainnya ada pada bentuk terikat ‘maha’ yang artinya besar/sangat seperti mahaguru/guru besar, mahasiswa, mahakuasa, mahaesa, swasta/berdiri sendiri (selfstanding) beranalogi membentuk kata baru seperti swadaya, swalayan (selfservice), swakarya, swakelola. Bentuk pra homonim dengan serapan dari prae yang bermakna sebelum dalam bahasa Latin praehistorie, dari kata Belanda disalin menjadi prasejarah. Dijadikan analogi prasaran (praeadvice), praduga (presuppose), prakarya, prakata (preface) dan serapan dari kata-kata bahasa Jawa sebagai suku kata seperti prasarana/fasilitas, prajurit, prasetia. Makna tuna ialah cacat atau invalid, dari serapan tunanetra (buta) dijadikan analogi tunagrahita (fisik invalid). Majas eufismisme tunaaksara (buta huruf), tunasusila (pelacur), tunakarya (penganggur), tunawisma (gelandangan), tunarungu (tuli). Bentuk antar pun homonim sebab sebagai jenis kata kerja/kata benda yaitu diantar/mengantar dan kata pengantar serta bentuk terikat antar sinonim dengan inter dalam bahasa Inggris seperti antarnusa (interisland), antarbangsa (internation), antarkota (intercity). Karena antar dari bahasa Sansekerta sekerabat dengan inter dari bahasa Inggris, kedua bahasa juga bahasa-bahasa Belanda, Jerman, Prancis, Latin, Yunani masuk serumpun dengan bahasa Sansekerta yaitu rumpun bahasa Indo Eropa/German.
Contoh kaidah (2) lainnya adalah: subsistem, subseksi, subkomite: pasca (ucapannya pastja bukan paska) sinonim dengan kata Inggris post- yang artinya sesudah/bakda seperti pascasarjana (postgraduate), pascaperang (postwar), pascapanen. Homonim dengan kata benda post mail/office yaitu lembaga/perusahaan yang mengurus pos/surat-menyurat dan lain-lain. Kata anti sebagai bentuk terikat terdapat pada contoh antitesis, antipati, antikomunis, antisipasi, antiseptik, antibocor, antimahal, antiteror, dan sebagainya.
Kaidah (3) menyatakan bentuk terikat ditulis terpisah bila digabungkan dengan kata turunan. Contoh (3) meliputi kata-kata Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Penulisan terpisah karena diikuti kata turunan kecuali Maha Esa dalam dokumen UUD 1945; pra kemerdekaan (kata turunan menyebabkan pemisahan), antar pelajar, antar perguruan tinggi (kata turunan); pasca pemilu, pasca penjajahan (kata turunan), anti terorisme, anti penjajahan, anti koruptor, non kependudukan (pemisahan karena kata turunan).
Kaidah (4) menyatakan bahwa penggabungan bentuk terikat ditulis terpisah sekaligus diberi tanda hubung bila diawali kata yang memakai huruf kapital. Contohnya adalah: pasca-Revolusi Kemerdekaan, pasca-Perang Dingin, pasca-Pemilu, anti-Zionisme, anti-AS, se-Indonesia, pan-Amerika, pan-Arab (huruf kapital dan tanda hubung menceraikan hubungan unsur gabungan kata).

2. Penulisan Bahasa Baku dan Nonbaku
Kesalahan penulisan kata baku dan nonbaku dalam beberapa tulisan teknis sering pula dijumpai. Walau bukan sesuatu yang fatal, tetapi sebagai sebuah kekeliruan tetap ‘mengganggu’, dan tentu saja secara akademis tidak bisa dipertanggungjawabkan. Apalagi jika produk-produk tulisan teknis tersebut dikeluarkan oleh lembaga publik, yang tentunya akan menurunkan kredibilitas lembaga tersebut.
Idealnya sebuah lembaga yang mengeluarkan produk cetak maupun noncetak, ikut berperan serta dalam membina, memelihara, dan memajukan bahasa Indonesia melalui pemakaian bahasa baku di lembaganya, sehingga ketika ada penulis atau lembaga lain yang merujuk ia telah menggunakan kaidah berbahasa yang benar. Pemakaian bahasa baku dalam kegiatan sebuah lembaga dapat diartikan sebagai bagian dari pemeliharaan bahasa, sedangkan penggunaan bahasa yang tidak baku hanya akan berakibat pada timbulnya bahasa yang tidak baik dan tidak benar, yang tentunya dapat dianggap ikut serta dalam proses perusakan bahasa. Kepatuhan setiap warga negara dengan kesadaran tinggi untuk menyukseskan pembakuan merupakan partisipasi aktif yang positif demi terwujudnya bahasa Indonesia yang baik dan benar yang selama ini selalu diidam-idamkan.
Berikut ini adalah beberapa contoh kekeliruan penulisan kata-kata baku dan nonbaku yang penulis temukan dalam beberapa tulisan teknis atau sumber bacaan lainnya, yaitu:
Nonbaku
Baku
- praktek
- ijin
- mengelompokan
- sumberdaya
- pengkemas
- metoda
- survey
- airtanah
- batulempung
- batugamping
- batubara
- perduli
- didalam
- dimana
- hakekat
- diatas
- diantara
- kepermukaan
- dirubah
- pengkoreksian
- pemboran
- resiko
- antri
- nasehat
- apotik
- aktip
- obyek
- langganan
- analisa
- aktifitas
- prosen
- metoda
- sistim
- geladi
- teoritis
- komoditas
- realita
- alquran
- loka karya
- ibukota
- nara sumber
- latihan
- ilmiawan
- bis
- pasca-pemilu
- azas
- tehnik
- jadual
- frekwensi
- enerji
- karir
- Perancis
- Pebruari
- ijasah
- konkrit
- ekstrim
- telefon
- praktik
- izin
- mengelompokkan
- sumber daya
- pengemas
- metode
- survei
- air tanah
- batu lempung
- batu gamping
- batu bara
- peduli
- di dalam
- di mana
- hakikat
- di atas
- di antara
- ke permukaan
- diubah
- pengoreksian
- pengeboran
- risiko
- antre
- nasihat
- apotek
- aktif
- objek
- pelanggan
- analisis
- aktivitas
- persen
- metode
- sistem
- gladi
- teoretis
- komoditi
- realitas
- al Quran
- lokakarya
- ibu kota
- narasumber
- pelatihan
- ilmuwan
- bus
- pasca pemilu
- asas
- teknik
- jadwal
- frekuensi
- energi
- karier
- Prancis
- Februari
- ijazah
- konkret
- ekstrem
- telepon


Kalau kita perhatikan, kekeliruan dalam penulisan kata baku dan nonbaku dalam tabel di atas, terutama terjadi pada kata-kata yang berasal dari unsur-unsur serapan bahasa asing. Sebenarnya, berdasarkan taraf integrasinya, unsur serapan asing dalam bahasa Indonesia dapat dibagi atas dua golongan.
Pertama, unsur serapan yang belum sepenuhnya terserap ke dalam bahasa Indonesia, seperti, kata reshuffle dan shuttle cock. Unsur serapan ini dipakai dalam konteks bahasa Indonesia, tetapi pengucapannya masih mengikuti cara bahasa asing dan penulisannya dengan dicetak miring, atau kalau ditulis tangan dan diketik, kata seperti itu digarisbawahi.
Kedua, unsur asing yang pengucapan dan penulisannya disesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia. Dalam hal ini diusahakan agar ejaan asing hanya diubah seperlunya sehingga bentuk bahasa Indonesianya masih dapat dibandingkan dengan bentuk aslinya. Penulisannya seperti kata Indonesia yang lain. Nah, termasuk dalam kategori inilah daftar kata baku dan nonbaku di atas.

3. Adanya Beberapa Pemborosan Kata
Salah satu ciri penggunaan bahasa yang efektif adalah pemakaian kalimat yang hemat tetapi padat isi. Namun, kita masih dapat melihat banyaknya penggunaan kata yang boros. Kata-kata boros ini menjadi berlebihan dan mubazir karena jika dihilangkan pun sebenarnya tidak akan mengubah informasi atau pesan yang ingin disampaikan.
Penulisan kata, gabungan kata, atau kalimat yang efektif akan membantu pula dalam penghematan ruang tulis (space) yang kita gunakan. Efektivitas sebuah kalimat juga menjadi ukuran kemampuan seorang penulis dalam menuangkan idenya secara ringkas, jelas, dan tetap bermakna. Artinya, jika dapat digunakan sebuah kalimat pendek untuk menjelaskan sebuah gagasan, kenapa pula harus dengan kalimat yang berpanjang-panjang yang malah akan membuat gagasan menjadi tidak jelas?!
Berikut adalah daftar kata atau frase yang sering dipakai tidak hemat tetapi banyak dijumpai penggunaannya.
BOROS
HEMAT
1. sejak dari
2. agar supaya
3. demi untuk
4. adalah merupakan
5. seperti … dan sebagainya
6. misalnya … dan lain-lain
7. antara lain … dan seterusnya
8. tujuan daripada
9. mendeskripsikan tentang
10. berbagai faktor-faktor
11. daftar nama-nama
12. mengadakan penelitian
13. dalam rangka untuk
14. berikhtiar dan berusaha untuk memberikan pengawasan
15. mempunyai pendapat
16. melakukan pemeriksaan
17. menyatakan persetujuan
18. Apabila …, maka
19. Walaupun …, namun
20. Berdasarkan …, maka
21. Karena … sehingga

22. Namun demikian,

23. sangat … sekali
1. sejak atau dari
2. agar atau supaya
3. demi atau untuk
4. adalah atau merupakan
5. seperti atau dan sebagainya
6. misalnya atau dan lain-lain
7. antara lain atau dan seterusnya
8. tujuan tanpa daripada
9. mendeskripsikan tanpa tentang
10. berbagai faktor
11. daftar nama
12. meneliti
13. untuk tanpa dalam rangka
14. berusaha mengawasi

15. berpendapat
16. memeriksa
17. menyetujui
18. Apabila …, tanpa kata penghubung
19. Walaupun …, tanpa kata namun
20. Berdasarkan …, tanpa maka
21. Karena … tanpa sehingga, atau sehingga tanpa karena …
22. Namun, tanpa demikian atau Walaupun demikian
23. sangat tanpa sekali, atau sekali tanpa sangat
sumber: www.polisieyd.blogsome.com
Pemakaian bahasa yang mengikuti kaidah yang dibakukan atau yang dianggap baku itulah yang disebut bahasa yang benar, sedangkan pemanfaatan ragam yang tepat dan serasi menurut golongan penutur dan jenis pemakaian bahasa, itulah yang disebut bahasa yang baik atau tepat. Bahasa yang tepat sesuai sasarannya tidak harus selalu bahasa baku.
Lalu, bagaimanakah memadukan pemahaman bahasa baku terhadap tulisan yang kita susun? Berikut ini adalah beberapa prinsip yang dapat kita lakukan dalam penyusunan sebuah tulisan teknis dengan tetap memperhatikan unsur-unsur bahasa yang baik dan benar.

Bahasa Baku Dalam Penulisan
Berikut ini adalah sepuluh prinsip penulisan yang penulis kutip secara bebas dari buku karangan Robert Gunning, The Technique of Clear Writing, (1952).
1. Usahakan menggunakan kalimat-kalimat yang pendek (Keep sentences short)
Panjang kalimat rata-rata dalam suatu tulisan merupakan sebuah tolok ukur yang penting bagi keterbacaan suatu tulisan. Kalimat harus diselang-seling antara kalimat panjang dan kalimat pendek. Namun, kalimat-kalimat pendek lebih disukai para pembaca, karena lebih cepat dan mudah memahaminya.
2. Pilihlah kalimat sederhana dibanding yang rumit (Prefer the simple to the complex)
Kata-kata, kalimat, atau bahasa yang sederhana akan lebih meningkatkan kadar keterbacaan suatu tulisan. Kalimat sederhana akan memudahkan pembaca dalam menangkap ide pokok dari suatu kalimat.
3. Pilihlah kata-kata yang umum dikenal (Prefer the familiar words)
Dalam menulis gunakanlah kata-kata yang telah dikenal pembaca yang dituju sehingga ide yang diungkapkan dapat secara mudah dan jelas ditangkap pembaca. Istilah-istilah teknis dapat pula dengan diberikan penjelasan dalam bahasa Indonesianya. Jika istilah bahasa Indonesianya yang dianggap belum umum, maka dapat disertakan pula bahasa asingnya (dalam kurung).
4. Hindari kata-kata yang tidak perlu (Avoid unnecessary words)
Setiap perkataan harus mempunyai peranan dalam kalimat dan naskah secara keseluruhan. Kata-kata yang tidak perlu hanya akan membuat pembaca lelah dan menghilangkan konsentrasi.
5. Berilah kesan tindakan dalam dalam kata-kata kerja (Put action in your verb)
Kata kerja aktif, yang mengandung tindakan, yang menunjukkan gerakan (dinamika) akan membuat suatu tulisan menjadi hidup dan bertenaga untuk menyampaikan pesan atau informasi yang dimaksud. Kalimat “banjir bandang menyapu desa” lebih bertenaga dan hidup daripada “desa digenangi banjir badang”.
6. Menulislah seperti kita berbicara (Write like you talk)
Perkataan tertulis hanyalah pengganti perkataan yang diucapkan secara lisan. Dengan mengungkapkan gagasan seperti halnya bercakap-cakap (berbicara), tulisan menjadi lebih jelas.
7. Pakailah istilah-istilah yang pembaca dapat menggambarkannya (Use terms your reader can picture)
Perkataan yang konkret lebih jelas bagi pembaca daripada perkataan yang abstrak. Sebagai contoh, “factory town” (kota dengan banyak pabrik) lebih mudah ditangkap maksudnya daripada istilah “industrial community” (masyarakat industri).
8. Kaitkan dengan pengalaman pembaca (Tie in with your reader’s experience)
Istilah-istilah yang abstrak memang berguna untuk proses pemikiran, tetapi agak sukar kalau digunakan untuk komunikasi karena terbuka bagi bermacam-macam penafsiran. Tulisan yang jelas adalah tulisan yang dapat dibaca dan pahami pembaca sesuai dengan latar belakang pemikirannya.
9. Manfaatkan sepenuhnya keanekaragaman (Make full use of variety)
Tulisan tidak boleh monoton, senada, datar, dan sepi sehingga membosankan pembaca. Harus ada variasi dalam kata, frase, kalimat maupun ungkapan lainnya. Keanekaragaman dalam tulisan adalah sumber kesenangan dalam pembacaan.
10. Menulislah untuk mengungkapkan, bukan untuk mengesankan (Write to express not impress).
Maksud utama menulis ialah mengungkapkan gagasan dan bukannya menimbulkan kesan kepada pembaca mengenai kepandaian, kebolehan, atau kehebatan diri penulisnya.

Simpulan

Sebagai bahasa yang hidup, bahasa Indonesia telah dan akan terus mengalami perubahan sejalan dengan perkembangan masyarakat pemakainya. Luasnya wilayah pemakaian bahasa Indonesia dan keanekaragaman penuturnya serta cepatnya perkembangan masyarakat telah mendorong berkembangnya berbagai ragam bahasa Indonesia dewasa ini.
Sayangnya, keberadaan bahasa baku dan peristilahannya dalam tulisan-tulisan teknis saat ini masih kurang diperhatikan. Penggunaan istilah asing yang terlalu dominan, penerjemahan yang kurang akurat, bahasa yang rancu, dan kesalahan dalam teknis kebahasaan lainnya masih sering dijumpai.
Sebenarnya, kesalahan umum pemakaian bahasa dalam masyarakat merupakan suatu gejala yang wajar. Penulis menyadari bahwa dalam tulisan ini pun pasti tidak luput dari kesalahan berbahasa. Pengetahuan kebahasaan yang terbatas dan kekurangtelitian boleh jadi menjadi penyebabnya. Boleh jadi pula dikarenakan bahasa Indonesia saat ini masih dalam proses menuju ke penggunaan yang standar, sehingga ketakkonsistenan kaidah kerap kali masih ditemukan.
Di satu pihak, pakar bahasa menyarankan pemakaian bahasa yang sesuai dengan kaidah, tetapi di pihak lain masyarakat masih terbiasa berbahasa dengan mengabaikan kaidah bahasa Indonesia. Namun, tidak berarti kesalahan itu kita biarkan berlarut-larut. Sudah saatnya kesalahan berbahasa itu kita atasi bersama-sama dengan cara meningkatkan keterampilan berbahasa Indonesia sesuai dengan kaidah ejaan yang disempurnakan
Kepatuhan setiap warga negara dalam berbahasa sesuai kaidah, dapat dipandang sebagai partisipasi aktif yang positif dalam membina terwujudnya bahasa Indonesia yang baik dan benar. Sebaliknya sikap tidak peduli atau mengabaikan kaidah-kaidah berbahasa yang ntelah ditetapkan hanya akan mengakibatkan semrawutnya penggunaan bahasa, sehingga bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa menjadi turun derajatnya. Lalu, dimanakah arti pepatah ‘bahasa menunjukkan bangsa’?

Daftar Pustaka
Alwi, Hasan. dkk. 2000. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga). Jakarta: Balai Pustaka.

Badudu, J.S. 1991. Inilah Bahasa Indonesia yang Benar II. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Departemen Pendidikan Nasional. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

DePorter, Bobbi & Mike Hernacki. 1999. Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan (terjemahan Sandra Dijkstra). Bandung: Kaifa.

“Inilah Kata-Kata yang Sering Dihamburkan” dalam www.polisieyd.blogsome.com tanggal 6 Februari 2006.

Kridalaksana, Harimurti. 1996. Pembentukan Kata Dalam Bahasa Indonesia (Edisi Kedua). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Purbo-Hadiwidjoyo, M.M. 1993. Menyusun Laporan Teknik. Bandung: ITB.

Publikasi Ilmiah Pusdiklat Geologi Bandung Vol. I No. I, Juli 2005.
* Penulis adalah alumni Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, tinggal di Jayagiri-Lembang.